PENDAHULUAN
Organisasi nirlaba memiliki
perbedaan yang cukup signifikan dengan organisasi yang berorientasi
kepada laba. Dalam menjalankan kegiatannya, organisasi nirlaba tidak semata-mata
digerakkan oleh tujuan untuk mencari laba. Apabila organisasi nirlaba
memperoleh surplus, maka surplus tersebut akan dikontribusikan kembali untuk
pemenuhan kepentingan publik, dan bukan untuk memperkaya pemilik
organisasi nirlaba tersebut. Walaupun tidak meminta adanya pengembalian, namun
para donatur sebagai salah satu
stakeholder
utama organisasi nirlaba
tentunya mengharapkan adanya pengembalian atas sumbangan yang mereka berikan.
Para donatur ini, baik mempersyaratkan atau tidak, tentu tetap menginginkan
pelaporan serta pertanggungjawaban yang transparan atas dana yang mereka
berikan. Para donatur ingin mengetahui bagaimana dana yang mereka berikan
dikelola dengan baik dan dipergunakan untuk memberi manfaat bagi kepentingan publik.
Untuk itu, organisasi nirlaba perlu menyusun laporan keuangan. Hal ini bagi
sebagian organisasi nirlaba yang
scope
-nya masih kecil serta sumber
daya-nya masih belum memadai, mungkin akan menjadi hal yang menantang untuk
dilakukan. Terlebih karena organisasi nirlaba jenis ini umumnya lebih fokus
pada pelaksanaan program ketimbang mengurusi administrasi.Namun, hal tersebut
tidak boleh dijadikan alasan karena organisasi nirlaba tidak boleh hanya
mengandalkan pada kepercayaan yang diberikan para donaturnya. Akuntabilitas
sangat diperlukan agar dapat memberikan informasi yang relevan dan dapat
diandalkan kepada donatur, regulator, penerima manfaat dan publik secara umum.
Rumusan Masalah
a. Inti dari permasalahan yang terjadi ?
b.Penyebab terjadinya permasalahan ?
c.Pada masalah ini yang bertanggung jawab siapa ?
d.Kondisinya bagaimana ?
e.Solusinya bagaimana ?
Latar Belakang
Kemiskinan pada hakekatnya merupakan
persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan
merupakan persoalan kompleks, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan
aktual dari masa ke masa. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang
selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan
usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat
melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia[1].
Kemiskinan adalah realita sosial yang
ditemui pada mayoritas penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam
kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa (16,7 persen).
Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp
123.000 per bulan[2].
Sedangkan berdasarkan kriteria Bank Dunia angka kemiskinan di Indonesia
mencapai 113 juta orang. Indikator kemiskinan ini didasarkan pada
pendapatan perkapita. Batas garis kemiskinan menurut Bank Dunia dibatasi
dengan pendapatan perkapita 800 $/US. Sementara itu, pendapatan
perkapita Indonesia berada di bawah batas kemiskinan standar bank dunia,
yaitu sebesar 760 $/US[3].
Sebenarnya kemiskinan akan dapat
diminimalisir apabila ada distribusi pendapatan dan kekayaan yang
merata. Persoalan yang nampak saat ini adalah sangat jelas terlihat
adanya kesenjangan , baik kesenjangan sosial maupun ekonomi antara
orang kaya dan miskin.
Menurut Dr Yusuf Qardlawi, salah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif[4],
salah satu upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau
memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara mengoptimalkan
pelaksanaan zakat.. Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang
tidak akan pernah kering dan habis. Dengan kata lain selama umat Islam
memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu
dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat
untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center)
tahun 2004, ternyata sebesar 49,8 % responden mengatakan dirinya
sebagai wajib zakat. Artinya potensi dana zakat di Indonesia adalah
hampir separuh dari umat Islam yang ada[5].
Secara nasional, zakat memiliki potensi yang sangat besar. Menurut
sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun setiap tahun.
Dalam studi lain, PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center)
menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3 triliun. Namun dalam riset
terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3 triliun[6].
Tentu saja, data-data tersebut memberikan gambaran bahwa zakat jika
dikelola dengan baik bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberdayakan
kondisi perekonomian negara dan masyarakat.
Dalam pemberdayaannya, zakat tidak hanya
dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif, tetapi juga
untuk sesuatu yang bersifat produktif. Dengan pemanfaatan zakat untuk
kegiatan yang produktif akan memberikan income (pemasukan) bagi
para penerima zakat dalam kelangsungan hidupnya. Para penerima zakat
akan terbantu untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang akan
meningkatkan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya yang selanjutnya
berdampak bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
apabila zakat dikelola dengan baik, maka zakat akan dapat dipergunakan
sebagai sumber dana yang potensial yang berasal dari masyarakat sendiri
dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Pengelolaan zakat ini akan optimal apabila dapat dilakukan secara
bersama-sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pengelola zakat.
Dalam lima belas tahun terakhir ini,
perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan. Jika
sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas,
tradisional, dan individual, namun kemudian, pengelolaan zakat memasuki
era baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai dicoba
diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan
dan lembaga-lembaga amil zakat baru yang menggunakan
pendekatan-pendekatan baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada
tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah
sebelumnya hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai
dengan disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat. UU inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di
Indonesia.
Dalam upaya pengumpulan zakat, pemerintah
telah mengukuhkan Badan Amil Zakat (BAZ), yaitu, lembaga pengelola
zakat yang dibentuk oleh pemerintah, yang personalia pengurusnya terdiri
atas ulama, cendekiawan, profesional, tokoh masyarakat, dan unsur
pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu, lembaga pengelola zakat
yang dibentuk oleh masyarakat, yang pengukuhannya dilakukan oleh
pemerintah bila telah memenuhi persyaratan tertentu. Lembaga-lembaga ini
ditugaskan sebagai lembaga yang mengelola, mengumpulkan, penyaluran,
dan memberdayakan para penerima zakat dari dana zakat. Peran pemerintah
tidak mungkin dapat diandalkan sepenuhnya dalam mewujudkan
kesejahteraan, karena itulah diperlukan peran dari lembaga-lembaga
tersebut. Khusus di Jakarta, pada tahun 2001 sudah ada tujuh Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ) yang sudah dikukuhkan oleh pemerintah yaitu;
Dompet Dhuafa Republika, Yayasan Amanah Tafakul, Rumah Zakat Indonesia,
Pos Keadilan Peduli Ummah, Lazis Muhammadiyah, Baitulmaal Muamalat,
Hidayatullah, Persatuan Islam, dan Bamuis BNI. Disamping LAZ tersebut,
pemerintah juga membentuk suatu OPZ pemerintah di Jakarta, yaitu, Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS)[7]. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat.
Baitulmaal Muamalat merupakan salah satu
organisasi pengelola zakat yang melakukan penggalangan dana zakat secara
professional dan inovatif. Baitumaal Muamalat (BMM) merupakan salah
satu lembaga pemberdayaan dan lembaga amil zakat nasional yang
menyelenggarakan berbagai macam program bantuan untuk masyarakat.
Baitulmaal Muamalat adalah lembaga pemberdayaan dan amil zakat nasional
yang lahir dari sebuah institusi yang telah cukup dikenal di masyarakat
yaitu Bank Muamalat. Baitulmaal Muamalat merupakan lembaga nirlaba yang
bertujuan mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum miskin melalui dana
ZISWAF (donasi dari masyarakat yang terdiri dari zakat, infak, sedekah,
wakaf dan dana lainnya dari perseorangan, kelompok maupun lembaga yang
halal dan legal). Bentuk program kegiatan dari Baitulmaal Muamalat
antara lain, beasiswa prestasi, kesehatan masyarakat pra sejahtera,
program kemanusiaan, komunitas pengembangan masyarakat, kegiatan
pengembangan ekonomi masyarakat.
Sampai saat ini, sejak berdirinya BMM
tahun 2001, selalu terjadi kenaikan yang cukup signifikan setiap
tahunnya dalam penghimpunan dana ZISWAF yang cukup berarti bagi
perkembangan. Bukti ini bisa dilihat dari kinerja BMM semester pertama
2006. hingga juli tahun ini, total penghimpunan BMM telah mencapai Rp.
8,2 miliar. Jumlah ini diperoleh dari aktifitas penghimpunan dana zakat,
infaq, program kemanusiaan, dan waqaf masyarakat. Delapan puluh persen
dari perolehan tersebut berasal dari dana zakat. Jika dibandingkan
perolehan semester 1 tahun 2005, penghimpunan dana BMM mengalami
kenaikan sampai 100 persen. Karena pada juni 2005 total dana terhimpun
hanya Rp. 4 miliar. Tabel I. 1 memberikan penjelasan dan data yang
menggambarkan perolehan penghimpunan BMM dari tahun 2000-2005.
1.2
a.inti dari permasalahan yang terjadi ?
Pengelolaan zakat di Indonesia hingga kini belum memberikan hasil yang
optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat masih belum mampu
memberikan pengaruh terlalu besar bagi terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Padahal, pengelolaan zakat telah ditopang oleh sebuah
perangkat hukum yaitu UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Banyak kendala dan hambatan yang dialami oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) untuk menggalang dana zakat dari masyarakat.
c.Pada Masalah ini yang bertanggung jawab siapa ?
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dan Pemerintah
d.kondisinya bagaimana?
Lagi Menyusun Strategi supaya permasalahan ini cepat selesai
e.solusinya bagaimana ?
Seperti halnya sebuah perusahaan,
Organisasi Pengelola Zakat pun mesti memiliki strategi dalam merebut
perhatian dari pasar donatur , dalam hal ini OPZ telah memiliki pasar
tersendiri yaitu, para wajib zakat, dan mempertahankan loyalitas mereka.
Lebih dari itu OPZ juga bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesadaran
para wajib zakat agar membayarkan zakat mereka. Hal ini dipandang sangat
penting untuk kontinuitas dan upaya pemberdayaan masyarakat yang mereka
lakukan. Untuk itu perlu bagi OPZ membangun sebuah sebuah strategi
untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik.
Kepiawaian suatu organisasi dalam menarik
masyarakat untuk menyalurkan zakatnya dan memelihara para penyalur
zakat tersebut, kelak membuat organisasi tersebut tetap dapat bernapas.
Selain juga mampu melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat melalui
dana zakat yang berhasil mereka kumpulkan. Bagi sebuah OPZ tentu akan
mati dengan sendirinya jika tak mampu menarik dan mempertahankan donatur
yang ada.
Penyusunan tujuan dan perencanaan
strategi bertambah penting artinya untuk keberhasilan dan kelangsungan
hidup organisasi karena adanya serangkaian perubahan dalam lingkungan
tempat organisasi harus bekerja (Weber,1975)[16] : (1) meningkatnya tenggang waktu (lead time)
yang dibutuhkan antara permulaan spesifikasi tujuan dengan tercapainya
tujuan itu karena berbagai macam alasan, mengakibatkan meningkatnya
kesempatan terjadinya perubahan tujuan; (2) karena organisasi telah
bertambah luas, masalah koordinasi berbagai bagian dan sumber daya untuk
usaha yang diarahkan ke tujuan juga jadi meningkat; (3) meningkatnya
kerumitan teknologi membutuhkan investasi waktu dan uang yang lebih
besar dan hampir tidak ada jaminan akan memberi hasil. Jadi, sumber
daya harus diinvestasikan lebih hati-hati; (4) meningkatnya spesialisasi
pekerjaan dan tenaga manusia seringkali mengurangi keluwesan organisasi
menukar prioritasnya sesuai keinginan; (5) ketidakpastian lingkungan
telah meningkat dalam berbagai bidang (misalnya; pasar, hukum, ekonomi),
dan telah menguragi keyakinan manajer pada keputusan yang dibuat serta
lebih membutuhkan banyak organisasi untuk dasar pengambilan keputusan.
Untuk membicarakan strategi yang akan
dijalankan, sebelumnya perlu defenisi dari strategi itu sendiri. Robbins
mendefenisikan strategi sebagai penentuan dari tujuan dasar jangka
panjang dan sasaran sebuah organisasi, dan penerimaan dari serangkaian
tindakan serta alokasi dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk
melaksanakan tujuan tersebut[17].
Sedangkan menurut Kenneth R.Andrews, strategi adalah pola keputusan
dalam organisasi yang menentukan dan mengungkapkan sasaran, maksud, atau
tujuan yang menghasilkan kebijaksanaan utama dan merencanakan untuk
mencapai tujuan organisasi.
Menurut Robbins[18], terdapat dua perspektif dalam melihat strategi sebuah organisasi, yaitu, suatu pandangan yang disebut planning mode (model
perencanaan). Pandangan ini menjelaskan strategi sebagai sebuah model
perencanaan atau kumpulan pedoman eksplisit yang dikembangkan
sebelumnya. Organisasi mengidentifikasikan arah tujuan, kemudian
organisasi mengembangkan rencana yang sistematis dan terstruktur untuk
mencapai tujuan tersebut. Setiap organisasi nirlaba cenderung
mencanangkan sasaran tahunan untuk sumbangan karena memungkinkan
organisasi tersebut untuk 1) mengetahui berapa yang sebaiknya
dianggarkan untuk pencarian dana, 2) memotivasi staf dan pemanfaatan
optimal relawan, dan 3) mengukur efektifitas pencarian dana.
Pandangan yang kedua adalah, evolutionary mode (model
evolusi). Berdasarkan pandangan ini strategi tidak selalu merupakan
suatu yang dipikirkan secara matang dan sistematis, strategi dapat
berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola dari arus keputusan yang
bermakna.
Organisasi biasanya menjalankan beberapa
strategi umum yang dapat mereka sambil dalam usahanya untuk mengurangi
ketidakpastian lingkungan yang mereka hadapi. Mereka dapat menanggapinya
dengan menerima dan mengubah tindakan mereka agar cocok dengan
kemampuan organisasi.
Sumber :https://ariefhilmanarda.wordpress.com/2010/03/06/zakat-dan-organisasi-pengelola-zakat/
:http://mitoyono.blogspot.co.id/2011/01/akuntansi-organisasi-nirlaba.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar